Skip to main content

Mengungkap Trauma dan Memori Kolektif: Telaah Historis dan Efek Psikologis Film "Pengepungan di Bukit Duri"

Berlatar belakang tragedi kelam pada bulan Mei tahun 1998 di Jakarta, film "Pengepungan Di Bukit Duri" yang baru-baru ini tengah dirilis, bukan sekedar tontonan aksi yang mendebarkan. Namun lebih dari itu, karena film ini menawarkan lensa yang kuat untuk menelisik kembali peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia sekaligus menggali luka psikologis yang mungkin masih membekas hingga kini. Film ini memicu diskusi mendalam tentang sejarah asli yang pernah terjadi di negara kita, dan akan kemungkinan dampak psikologis yang dapat dipicunya.


Poster film "Pengepungan Di Bukti Berduri" yang diunggah pada laman instagram @jokoanwar,
https://www.instagram.com/p/DF4oEjYvih3/?utm_source=ig_web_copy_link


Dari sudut pandang historis, "Pengepungan di Bukit Duri" menjadi representasi visual yang penting. Penggusuran dan kekerasan terhadap etnis tionghoa, serta perampasan ruang hidup, penghancuran komunitas yang telah terjalin erat selama beberapa generasi. Pada awal film, secara gamblang diperlihatkan bagaimana alat negara digunakan untuk merenggut hak atas tempat tinggal, mengabaikan dialog dan aspirasi warga.

Adegan-adegan konfrontasi antara aparat dan warga, serta satu kelompok warga (pribumi) yang melawan kelompok lain (tionghoa), rumah-rumah yang dibakar lalu diratakan dengan tanah, serta keputusasaan dan kemarahan penduduk menjadi catatan sejarah yang tak terbantahkan. Film ini mengingatkan kita pada narasi-narasi serupa tentang penggusuran dan rasisme di berbagai wilayah di Indonesia pada masa itu.

Lebih jauh lagi, film ini memiliki resonansi psikologis yang kuat. Bagi mereka yang pernah mengalami penggusuran atau menyaksikan ketidakadilan serupa, "Pengepungan di Bukit Duri" dapat memicu kembali trauma dan kesedihan. Rasa kehilangan, ketidakberdayaan, dan kemarahan yang dialami oleh karakter-karakter dalam film mungkin mencerminkan emosi yang pernah atau sedang dirasakan oleh korban penggusuran dan rasisme di dunia nyata. Film ini menjadi ruang katarsis, di mana pengalaman pahit divisualisasikan dan diakui.


Salah satu adegan pada film "Pengepungan Di Bukit Duri." Dari Duniaku.com

Selain itu, film ini berpotensi membangkitkan empati dan kesadaran bagi penonton yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan penggusuran ataupun rasisme. Melalui alur cerita yang kuat dan karakter-karakter yang relatable, penonton diajak untuk memahami dampak psikologis yang mendalam dari kehilangan tempat tinggal dan penindasan terhadap suatu komunitas.

Rasa tidak aman, ketidakpastian akan masa depan, dan hilangnya identitas sosial adalah beberapa dampak psikologis yang mungkin dirasakan oleh korban rasisme. Film ini secara tidak langsung menyerukan refleksi mengenai keadilan sosial dan tanggung jawab negara terhadap warganya.

Namun, penting untuk dicatat bahwa representasi dalam film, meskipun kuat, tetaplah sebuah interpretasi artistik. Diskusi lebih lanjut dan penelitian mendalam mengenai dampak psikologis jangka panjang dari tragedi 98 tetap diperlukan untuk memahami sepenuhnya kedalaman luka yang mungkin ditimbulkan.

"Pengepungan di Bukit Duri" bukan hanya sekedar hiburan. Ia adalah artefak budaya yang merekam jejak sejarah kelam dan menggugah kesadaran psikologis.

Film ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya menghargai hak asasi manusia, mendengarkan suara masyarakat yang terpinggirkan, dan memastikan bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan kesejahteraan dan martabat warga negara. Diharapkan, film ini dapat memicu dialog yang lebih konstruktif mengenai kebijakan tentang hak asasi manusia, kesetaraan, serta pembangunan yang berkeadilan dan berempati.


Penulis : Elang Mas haryo Kalijaga

Editor : Ardhena Vareldio Pratama Hadianto

NB* BERITA INI SEBAGAI PRAKTIK MATA KULIAH JURNALISTIK ONLINE



Comments

Popular posts from this blog

Team Hindia Surabaya, Komunitas Terbuka untuk Para “Bayangan” Penggemar Musik Hindia

Surabaya -  "Bayangan," itulah yang menjadi sebutan untuk para penggemar band Hindia yang menjadi komunitas yang bernama Team Hindia. Di tengah gemuruh skena musik independen Indonesia, Hindia muncul sebagai salah satu sosok yang mampu menggerakkan pendengarnya secara emosional dan kolektif. Namun, siapa sangka di balik lagu-lagu kontemplatifnya, tumbuh pula komunitas penggemar yang aktif, terbuka, dan tersebar di berbagai kota. Team Hindia muncul sebagai wadah regional untuk para penggemar musik Hindia yang ingin terkoneksi lebih dalam. Foto Team Hindia buka bersama dengan Baskara (vokalis Hindia) di Kopitagram. Sumber : Instagram @teamhindia Team Hindia bukan sekadar fanbase biasa. Mereka hadir sebagai ruang pertemanan dan kolaborasi antaranggota yang dibentuk berdasarkan wilayah, seperti Surabaya, Jogja, dan Malang. Berbeda dengan komunitas lain yang tidak memiliki pembagian wilayah atau bahkan cenderung tertutup, Team Hindia justru menjunjung keterbukaan. Di tiap regi...

Semarak Kebudayaan: Kabupaten Tulungagung Gelar Pagelaran Budaya dan Pameran di Surabaya

  Surabaya - Dalam aksi mendukung pelestarian budaya lokal, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur turut serta untuk mengajak para pecinta budaya dapat hadir di acara Gelar Budaya dan Pameran Produk Ekonomi Kreatif dari Kabupaten Tulungagung. Pagelaran tersebut menampilkan berbagai kekayaan seni dan produk unggulan dari Kabupaten Tulungagung. Mulai dari Pagelaran Wayang Kulit, Tari Reyog, hingga produk kuliner khas Tulungagung. Acara ini diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur yang bekerjasama dengan Kabupaten Tulungagung. Semua rangkaian acara ini berlokasi di UPT Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya. Poster Gelar Budaya dan Pameran Produk Ekonomi Kreatif, Sumber:  https://www.instagram.com/p/DJ6rQPvvcW8/?img_index=1&igsh=eXYxenNudnR5Z25m Tidak hanya terbuka untuk umum, acara ini juga mengundang seluruh pelaku seni dari seluruh Perguruan Tinggi Negeri salah satunya UKM Karawitan UPN Veteran Jawa Timur. Selain itu, acara ini dihadiri oleh Kepala Di...

Candi Borobudur Jadi Pusat Perayaan Waisak 2569 BE

Candi Borobudur kembali menjadi pusat perayaan Hari Tri Suci Waisak 2569 BE pada tahun 2025. Ribuan umat Buddha dari berbagai daerah hingga mancanegara berkumpul di situs warisan dunia ini untuk mengenang tiga peristiwa penting dalam kehidupan Siddharta Gautama, yakni kelahiran, pencapaian pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha. Perayaan Waisak tahun ini mengangkat tema “ Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan, Wujudkan Perdamaian Dunia ,” sebagai ajakan untuk membangun keharmonisan, toleransi, dan semangat kemanusiaan di tengah dunia yang dilanda konflik. Rangkaian kegiatan Waisak 2025 telah dimulai sejak awal Mei. Pada 4 Mei, umat Buddha melaksanakan karya bakti di taman makam pahlawan sebagai bentuk penghormatan kepada para pendahulu. Selanjutnya, pada 10 Mei, digelar bakti sosial berupa pengobatan gratis di zona 2 Candi Borobudur. Hari yang sama juga menjadi momen penting dengan pengambilan Api Dharma dari Mrapen dan ritual pensakralan di Candi Mendut Infografis Perayaan Wais...