Poster film "Pengepungan Di Bukti Berduri" yang diunggah pada laman instagram @jokoanwar, https://www.instagram.com/p/DF4oEjYvih3/?utm_source=ig_web_copy_link
Dari sudut pandang historis, "Pengepungan di Bukit Duri" menjadi representasi visual yang penting. Penggusuran dan kekerasan terhadap etnis tionghoa, serta perampasan ruang hidup, penghancuran komunitas yang telah terjalin erat selama beberapa generasi. Pada awal film, secara gamblang diperlihatkan bagaimana alat negara digunakan untuk merenggut hak atas tempat tinggal, mengabaikan dialog dan aspirasi warga. Adegan-adegan konfrontasi antara aparat dan warga, serta satu kelompok warga (pribumi) yang melawan kelompok lain (tionghoa), rumah-rumah yang dibakar lalu diratakan dengan tanah, serta keputusasaan dan kemarahan penduduk menjadi catatan sejarah yang tak terbantahkan. Film ini mengingatkan kita pada narasi-narasi serupa tentang penggusuran dan rasisme di berbagai wilayah di Indonesia pada masa itu. Lebih jauh lagi, film ini memiliki resonansi psikologis yang kuat. Bagi mereka yang pernah mengalami penggusuran atau menyaksikan ketidakadilan serupa, "Pengepungan di Bukit Duri" dapat memicu kembali trauma dan kesedihan. Rasa kehilangan, ketidakberdayaan, dan kemarahan yang dialami oleh karakter-karakter dalam film mungkin mencerminkan emosi yang pernah atau sedang dirasakan oleh korban penggusuran dan rasisme di dunia nyata. Film ini menjadi ruang katarsis, di mana pengalaman pahit divisualisasikan dan diakui.
Salah satu adegan pada film "Pengepungan Di Bukit Duri." Dari Duniaku.com
Selain itu, film ini berpotensi membangkitkan empati dan kesadaran bagi penonton yang tidak memiliki pengalaman langsung dengan penggusuran ataupun rasisme. Melalui alur cerita yang kuat dan karakter-karakter yang relatable, penonton diajak untuk memahami dampak psikologis yang mendalam dari kehilangan tempat tinggal dan penindasan terhadap suatu komunitas. Rasa tidak aman, ketidakpastian akan masa depan, dan hilangnya identitas sosial adalah beberapa dampak psikologis yang mungkin dirasakan oleh korban rasisme. Film ini secara tidak langsung menyerukan refleksi mengenai keadilan sosial dan tanggung jawab negara terhadap warganya. Namun, penting untuk dicatat bahwa representasi dalam film, meskipun kuat, tetaplah sebuah interpretasi artistik. Diskusi lebih lanjut dan penelitian mendalam mengenai dampak psikologis jangka panjang dari tragedi 98 tetap diperlukan untuk memahami sepenuhnya kedalaman luka yang mungkin ditimbulkan. "Pengepungan di Bukit Duri" bukan hanya sekedar hiburan. Ia adalah artefak budaya yang merekam jejak sejarah kelam dan menggugah kesadaran psikologis. Film ini menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya menghargai hak asasi manusia, mendengarkan suara masyarakat yang terpinggirkan, dan memastikan bahwa pembangunan tidak dilakukan dengan mengorbankan kesejahteraan dan martabat warga negara. Diharapkan, film ini dapat memicu dialog yang lebih konstruktif mengenai kebijakan tentang hak asasi manusia, kesetaraan, serta pembangunan yang berkeadilan dan berempati.
Penulis : Elang Mas haryo Kalijaga Editor : Ardhena Vareldio Pratama Hadianto NB* BERITA INI SEBAGAI PRAKTIK MATA KULIAH JURNALISTIK ONLINE |
Comments
Post a Comment